Senin, 29 November 2010

sego segawe, sudahkah?

Jogjakarta merupakan kota yang memiliki seribu julukan. Kota pelajar, kota budaya, kota seniman, kota gudheg, kota wisata, bahkan kota sepeda karena memang dulu banyak masyarakat Jogja yang berlalu lalang di jalan dengan sepeda. Namun kini masihkah Jogja menyandang semua predikat itu, terutama Jogja sebagai kota sepeda. Lain dulu lain sekarang. Kini Jogja menjadi kota berpolusi akibat kendaraan bermotor yang tiap detiknya memadati jalanan kota Jogja. Kemacetan pun kian hari merajalela di setiap sudut kota. Disisi lain, Pemerintah kota Jogja pun tak mau berpangku tangan melihat demikian. Dicanangkanlah program SEGO SEGAWE sepeda kanggo sekolah  lan nyambut gawe. Namun niat baik tak selamanya mendapat tanggapan yang baik pula. Ternyata masyarakat belum dapat diajak untuk naik ke tangga kemuliaan. Gaya hidup masyarakat yang serba instan membuat masyarakat tak ingin “berlama-lama” menikmati nikmatnya indah perjalanan dengan “kereta angin”.
Namun bukan hanya masyarakat yang bersalah. Pemerintah juga belum optimal dalam menjalankan programnya. Jaminan pemerintah dalam sisi keselamatan belum optimal. Kurangnya sosialisasi savety dalam bersepeda di jalan raya. Alih-alih pemerintah membagikan helm sepeda untuk keseTak ada jaminan yang melindungi pengguna sepeda. Padahal para pengguna kendaraan bermotor, baik sepeda motor, mobil, truk, maupun bus sebagian besar sudah tak memiliki etika dalam berkendaraan. Apalagi kalau harus menyebrang jalan raya harus menunngu sampai sepi.
Pemberian jatah tempat di jalan raya untuk pengendara sepeda dirasa masih jauh dari cukup. Sebaiknya pengguna sepeda mendapat jatah jalan raya yang lebih besar daripada yang sekarang. Mungkin para mahasiswa yang ngekosnya dekat kampus dianjurkan untuk bersepeda minimal 3 kali setiap pekan. Selain itu jalur sepeda berada di sebelah kanan karena jika tetap berada disebelah kiri, pengguna akan kesulitan untuk menyeberang jalan raya. Dengan berada di bagian tengah, maka tak perlu lagi berkeringat masyarakat untuk menunggu jalan yang ‘sepi’.
Selain itu, walaupun belum lama ini di tiap pertigaan atau perempatan ada tempat khusus sebagai tempat pengguna sepeda untuk berhenti menunggu hingga lampui merah. Efektifkah itu? Pada kenyataannya para pengguna sepeda tak selau berada di awal saat lampu ‘bangjo’ berganti warna menjadi merah. Sehingga mereka yang di akhir-akhir kesulitan untuk mendapatkan haknya berada di tempat khusus sepeda berhenti.
Ironinya, masih ada diskriminasi untuk pengguna sepeda. Misalnya di Malioboro atau tempat umum lainnya belum menyediakan area parker khusus yang layak untuk sepeda. Bahkan mungkin ada yang tidak menyediakan,. Sehingga pengendara sepeda mengalami kuang nyaman untuk bepergian dengan sepeda.
Memang serentetan masalah tersebut masih menjadi momok yang selalu menghantui pengendara sepeda di kota Jogja. Namun tak ada salahnya untuk mencoba menjadi pelopor untuk perubahan yang lebih baik. Menyelamatkan bumi dari ancaman polusi. Semoga dengan niat baik pemerintah membuka cakrawala peradaban masyarakat.